Senin, 06 Oktober 2014

Ashadu di baning rasa, ala ilaha satemaning rasa, Illahu mulyaning rasa , Muhammad rosul sejatining rasa.
Allahuma tegesna nyawa, soli ala bulu kult getih saidiNa otot banyu daging, Muhammad rosul balung sum sum.,
Lebur badan jadi nyawa, lebur nyawa jadi rasa, lebur rasa jadi cahaya, lebur cahaya siNaning Allah , mulih rasaNa maning rasaNa wujud tunggal Qudratullah, Laillahalauloh Muhammadurosululloh SAW

Sabtu, 31 Mei 2014

KUNCI JAWABAN ULANGAN SEMESTER GENAP 2013-2014

-PAI=A,C,D,A,B,B,B,A,D,C,B,B,D,B,A,C,A,C,B,A,D,B,B,B,B,B,A,A,B,B
-INDONESIA=A,C,,B,C,B,C,C,B,A,D,,D,D,D,B,B,C,B,A,A,A,A,A,A,A,A,A,A,A,A,,B
-PKN=A,C,C,C,C,C,C,B,B,B,B,C,B,A,B,B,B,A,A,C,D,D,D,D,C,C,A,A,A,
-MATEMATIKA=A,,C,C,C,C,,A,A,A,A,,D,D,D,D,D,B,C,C,B,D,A,A,,B,A,A,A.A,A,A
-SBK=A,A,A,A,A,A,A,A,A,A,A,,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,
-KWU=D,D,,C,C,C,C,B,C,B,D,B,D,A,A,C,B,B,A,A,A,C,C,C,B,B,C,C,D,D
-IPA =B,D,D,D,B,B,B,B,A,A,A,C,C,C,CD,D,D,B,B,B,B,A,A,C,B,C,B,C,C
-PENJAS,D,D,D,D,D,D,C,C,B,,C,C,CA,A,A,A,A,A,A,AC,C,C,C,C,C,C,C,C,C,
-EKONOMI AKUNTAN=A,C,C,C,C,C,C,C,B,B,B,BA,A,A,A,AD,D,D,D,D,D,DB,B,BB,B,B,B,B,
-INGGRIS =A,A,A,A,A,A,A,A,AC,C,CB,BA,A,C,B,A,C,C,A,A,A,A,B,B,B,D,D,D,D,D,
-K3LH=A,A,A,A,A,A,A,A,A,A,A,A,A,A,A,C,C,C,C,C,C,,B,B,B,B,B,B,B,B,B,B,A,A,A,
-KKPI=D,D,D,B,B,B,B,B,A,A,A,A,A,C,C,,B,A,A,B,D,DB,B,B,B,,A,A,A,A,A,A,A,A,A
MPA=A,A,A,A,,B,B,B,B,B,A,A,A,A,A,A,A,D,D,D,B,B,B,B,B,A,A,A,A,B,B,B,,B,B,B,B
-MPK=A.C..D.D,D,D,D,D,D,D,D,D,,D,D,D,D,D,D,DB,B,B,B,B,B,B,B,B,B,B,B,BA,A
-B.ARAB =A,A,A,A,A,A,C,C,C,CA,A,A,A,A,B,B,BA,A,A,AA,A,C,C,C,C,C,A,A,A,A,A,AA,

-IPS=A,A,A,C,C,C,C,C,C,C,C,A,AC,C,C,C,C,C,B,B,B,A,A,D,D,D,D,D,D,A,A,A,A,A,
-TIK=A,A,A,A,,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,B,B,B,B,B,B,B,B,D,D,D,D,D,D,D,
-B.SUNDA,=B,B,B,B,B,BC,C,C,C,C,A,,D,D,D,D,D,DC,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,C,CC,,C,
-BTQ=A,A,A,A,A,A,A,A,C,C,C,C,C,C,C,C,C,B,B,B,B,B,B,B,B,BA,A,A,A,A,A,A,A,
-PLH=A,,D,D,,A,A,D,DA,A,D,C,C,C,C,C,C,C,B,B,B,C,C,C,C,A,A,A,A,A,A,A,A,A,A,A
MKDK=A,A,A,A,A,A,C,C,C,C,C,B,B,B,BA,A,A,A,A,A,AA,AB.,B,B,B,B,B,B,B,B,B,B,B,B

Senin, 14 April 2014

SEKILAS TENTANG ASEP SUNANDAR SUNARYA

Asep Sunandar Sunarya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Asep Sunandar Sunarya
Asepsu.JPG
Foto Ki Asep Sunandar S
Nama lahirAsep Sukana
Lahir3 September 1955 (umur 58)
Bendera Indonesia BandungJawa Barat
Meninggal31 Maret 2014 (umur 58)
Bendera Indonesia BandungJawa Barat
PekerjaanDalang
Seniman
Tahun aktif1970 - 2014
PasanganNeni Hayati
AnakAde Kosasih Sunarya
Iden Subasrana Sunarya
Ugan Sunagar Sunarya
Agus Muharram Sunarya
Imik Sunarya
Orang tuaAbah Sunarya
AgamaIslam
Asep Sunandar Sunarya atau sering dipanggil Ki Asep Sunandar Sunarya (lahir di BandungJawa Barat3 September 1955 – meninggal di Bandung, Jawa Barat31 Maret 2014 pada umur 58 tahun)[1] adalah seorang maestro wayang golek di Indonesia. Selaku dalang wayang golek Asep Sunandar Sunarya (di rumahnya biasa dipanggil Abah, di udara sebagai breaker menggunakan nama Eyang Abiyasa) konsisten pada bidang garapannya, teu incah balilahan. Beliau ditakdirkan untuk menjadi dalang oleh dalang yang sesungguhnya, yakni Tuhan. Ia begitu menyatu dengan dunia wayang golek yang Ia gelutinya sehingga penghargaan demi penghargaan, baik dari tingkat lokal, provinsi, nasional, bahkan manca negara Ia dapatkan.
Tanpa adanya seorang Asep Sunandar Sunarya mungkin Cepot tidak akan sepopuler sekarang ini. Berkat kreativitas dan inovasinya, Ia berhasil meningkatkan lagi derajat wayang golek yang dianggap seni kampungan oleh segelintir orang. Peningkatan itu dilakukan dengan menciptakan wayang Cepot yang bisa mangguk-mangguk, Buta muntah mie, Arjuna dengan alat panahnya, Bima dengan gadanya begitu pula dengan pakaian wayangnya yang terkesan mewah.
Materi dan ketenaran ia dapatkan dari hasil berjuang tanpa henti dengan menghadapi berbagai dinamika kehidupan yang sering kali tidak atau kurang menyenangkan. Sebelum suka datang, tentu duka menghampiri, bahkan seringkali suka dan duka menyatu dalam rentang panjang perjalanan seorang Asep.
Orang tidak banyak tahu bahwa perjalanan dalam profesinya sebagai dalang, demikian berliku. Tidak jarang, di awal karirnya Asep sering mendapatkan kritikan pedas dari berbagai kalangan, terutama dari sang ayah (Abah Sunarya).
“Setiap kali jika saya selesai pagelaran, Abah selalu mengatakan “goréng” (jelek) terhadap apa yang saya lakukan. Abah itu orang tua yang pelit sekali untuk tertawa, anehnya hanya ketika saya mendalang dengan lawakan, dan Abah menyaksikan, Beliau tertawa. Bagi saya sepedas apapun kritikan Beliau, saya jadikan pupuk dan cambuk sehingga memacu kreativitas dan inovasi. Saya menjadi sekarang ini berkat adanya hari kemarin, ujar Asep.
Lebih jauh Asep mengatakan: “Kuring kudu ngahaturkeun nuhun ka sing saha waé anu geus ngritik, rék didasaran ku ngéwa atawa nya’ah, pék téh teuing. Sajaba ti Ã©ta, meureun perlu ogé kuring nendeskeun yén naon rupa kréativitas jeung inovasi anu ku kuring dilakukeun, dina raraga tarékah sangkan seni Sunda wayang golék anu mibanda ajén adi luhung, tetep bisa hirup disagala jaman, kaasup dijaman kiwari anu gening batan sakitu loba nilai seni katut budaya deungeun anu asup ka Indonésia pon kitu deui karasa ku urang Sunda. Atuh meureun mun wayang golék teu dimumulé kujalan inovasi mah tangtu baris kadéséh kubudaya deungeun téh. Nudipigusti ku Kuring mah ngan Gusti, lain pakem, lain wayang golék, lain tali paranti. Sapamanggih Kuring pakem wayang golek lain perkara anu statis komo kudu disakralkeun mah, lain! Ngan disisi séjén, kuring ogé kudu méré atawa nyadiakeun lolongkrang pikeun saha waé anu miboga pamadegan anu teu sajalan jeung pamanggih kuring, mangga téh teuing. Teu aya guna jeung manfaatna mutuskeun silaturahmi alatan pakem jeung hal séjén anu sifatna multitafsir. Naon anu dilakukeun ku Kuring, ngaropéa wayang golék ku jalan inovasi, lantaran Kuring yakin yén euyeub pisan niléi-niléi kamanusaan katut Katuhanan dina seni Sunda wayang golék. Kumangrupa anu mere aprésiasi kana naon anu ku Kuring dilakukeun, éta mah hak balaréa séwang-sewangan,da kuring mah darma diajar, atuh ngadalang gé darma diajar,” ungkapnya.

Dari Asep Sukana Menjadi Asep Sunandar Sunarya[sunting | sunting sumber]

Mimpi adalah sebuah misteri yang multi tafsir kebanyakan orang menganggapnya sebagai bunga tidur namun tidak sedikit juga yang beranggapan bahwa mimpi adalah medium Tuhan "Menyampaikan" pengetahuan-Nya kepada manusia, dan yang namanya tafsir itu pastinya banyak versi. Kita tidak pernah paham secara detil apa hubungannya antara mimpi dengan kenyataan.
namun inilah kenyataan yang dialami seorang Ibu ditahun 1955 di Kampung Giriharja Bandung. Ia bernama Tjutjun Jubaedah (biasa dipanggil Abu Tjutjun), isteri seorang dalang terkenal pada masanya yakni Abeng Sunarya (biasa dipanggil Abah Sunarya).
Suami Istri ini dikarunia 13 orang anak:
  1. Suherman Sunarya
  2. Ade Kosasih Sunarya
  3. Miktarsih Sunarya
  4. Otah Saodah Sunarya
  5. Ilis Sunarya
  6. Nanih Sunarya
  7. Asep Sunandar Sunarya (Sukana)
  8. Imas Sunarya
  9. Iden Subrasana Sunarya
  10. Nunuk Sunarya
  11. Permanik Sunarya
  12. Ugan Sunagar Sunarya
  13. Agus Sunarya
Inilah salah satu episode tautan antara mimpi dengan kelahiran. Ketika usia kandungan Abu Tjutjun menginjak bulan ketujuh Ia bermimpi bahwa kalau anak yang ke-7 dalam kandungannya lahir maka tidak boleh diberi nama. 3 September 1955 Abu Tjutjun melahirkan putra ke-7 seorang anak laki-laki. teringat akan mimpinya maka jabang bayi tersebut tidak diberi nama.
Entah apa hubungannya antara mimpi tersebut dengan niat Abah Sunarya sebab menginjak usia 15 bulan setelah lahir, sang jabang bayi "diserahkan" kepada adiknya Abah yang bernama Ibu Eja (akrab dipanggil Ma Jaja) yang kebetulan belum dikaruniai anak. Sejak saat itu hak asuh sang bayi menjadi tanggung jawab Ma Jaja (alias sang Bibi bagi si Bayi)
Karena sang Bayi tidak bernama tentu ada kekhawatiran pada diri Ma Jaja jika tetangganya menanyakan perihal nama Bayi tersebut. Untuk menyiasatinya maka Ma Jaja berfikir keras hingga muncul ide Sukana yakni semacam akronim dari Bahasa Sunda yang berarti sa suka na (sesukanya). kemudian Sukana menjadi semacam "nama" bagi Bayi tersebut. Ide ini datang sebagai "jalan tengah" atau solusi jitu sebab dengan cara seperti itu Ma Jaja tidak melanggar apa yang diamanatkan oleh sang Kaka.
Salah satu sebutan untuk laki-laki dikalangan masyarakat Sunda adalah Asep (disamping Encep atau Ujang). Jadilah kemudian sang bayi terbiasa disebut Asep Sukana. Hampir seperti kebanyakan anak-anak lainnya pada jaman itu, Asep kecil senang sekali dengan dongeng atau kawih yang menyertainya menjelang tidur. Selain itu, Asep kecil sudah memperlihatkan kesukaannya terhadap aneka binatang peliharaan, seperti kucing, anjing, burung dan ayam. saking sayang nya pada binatang Asep kecil menamai binatang-binatang itu salah satunya anjingnya yang hitam polos diberinama Lutung.
Pada diri Asep mengalir darah seni dari Ayahnya. Diawali sejak usia 7 tahun ( kelas 1 SD) minat Asep terhadap wayang golek sudah mulai tumbuh. Selain karna faktor turunan juga memang pada zaman itu pagelaran seni Wayang Golek masih digandrungi oleh masyarakat. Juga, pada saat itu belum ada "saingan" dari jenis seni lainnya sebagaimana terjadi pada zaman sekarang. Bakat Sukana kecil ia perlihatkan dengan kegemarannya membuat wawayangan dari ranting-ranting pohon yang jatuh, tanah liat, dan daun singkong.
Asep Sukana yang hidup dibelaian Ma Jaja, tentu saja menganggap bahwa Ma Jaja adalah Ibu kandungannya sendiri. Paling kurang selama 16 tahun Asep Sukana tidak pernah tahu siapa sesungguhnya orangtua kandungnya. Namun berkat kebijakan dari Ma Jaja maka akhirnya Asep mengetahui siapa ayah dan ibu kandungnya. Maka pada suatu kesempatan, Ma Jaja, Abeng Sunarya, dan Tjutjun Jubaedah bertemu, tersibaklah kemudian asal-usul atau silsilah keluarga yang sebernarnya.
Suatu ketika saat Asep Sukana manggung di Luragung, ia mendalang siang hari (ngabeurangan) sedangkan pada malam harinya yang menjadi dalang adalah Abah Sunarya, maka saat itulah Abah Sunarya berujar:"Ngewa ngaran Sukana, ganti ku Sunandar!" Sejak saat itulah Asep Sukana berubah menjadi Asep Sunandar, sedangkan nama Sunarya merupakan nama Ayahnya yang kemudian digunakannya. Hal ini lazim terjadi di Masyarakat Sunda khususnya, dimana nama Ayah kerap digunakan dibelakang nama anaknya.
"Apalah artinya sebuah nama tanpa Karya" Asep Sunandar.

Penghargaan Atas Karya[sunting | sunting sumber]

Tentu banyak alasan kenapa ia memperoleh aneka penghargaan tersebut. Yang jelas tidak mungkin ada penghargaan tanpa prestasi dan tidak mungkin ada prestasi tanpa karya. Dari berkarya kemudian berprestasi tentu merupakan tangga tersendiri, dan tangga ini hanya mungkin dilalui atau dicapai apabila padanya terdapat inovasi dari ragam kreativitas yang dilakoninya. Artinya, Asep tidak hanya sekedar berkarya namun lebih jauh dari itu ia berkarya disertai inovasi dan kreativitas. Artinya pula, karya Asep tidak stagnan melainkan dinamis, terus mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman, ngindung kawaktu mibapa kajaman.
Selain penghargaan Individu Peduli Tradisi, Asep memiliki penghargaan atas semua kreativitasnya itu, diantaranya 1978 Asep Sunandar Sunarya berhasil menyandang juara Dalang Pinilih I tingkat Jawa Barat pada Binojakrama padalangan di Bandung. selang empat tahun kemudian yakni ditahun 1982, terpilih kembali menjadi juara pinilih I lagi di Bandung. sejak 1982-1985 Asep Sunandar Sunarya rekaman kaset oleh SPRecord, dan Wisnu Record. Dan pada tahun 1985, ia dinobatkan sebagai Dalang Juara UMUM tingkat Jawa Barat pada Binojakrama Padalangan di Subang, dan ia berhak memboyong Bokor Kencana sebagai lambang supremasi padalangan Sunda Jawa Barat.
1986, Asep Sunandar Sunarya mendapat mandat dari pemerintah sebagai duta kesenian, untuk terbang ke Amerika Serikat. Pada tahun yang sama, 1986, Dian Record mulai merekam karya-karya Asep Sunandar dalam bentuk kaset pita.
1993, Asep Sunandar Sunarya diminta oleh Institut International De La Marionnette di Charleville, Perancis, sebagai dosen luar biasa selama dua bulan, dan diberi gelar profesor oleh masyarakat akademis Perancis.
Tahun 1994, Asep Sunandar Sunarya mulai pentas di luar negeri, antara lain di: InggrisBelandaSwiss, Perancis, dan Belgia, setelah itu, yakni 1995, ia ,mendapat penghargaan bintang Satya Lencana Kebudayaan. Hingga sekarang, tidak kurang dari 100 album rekaman (termasuk bobodoran) yang sudah dihasilkan Asep Sunandar Sunarya. bahkan salah satu station tv swasta juga pernah membuat program khusus Asep berjudul Asep Show.
Setidaknya itulah beberapa penghargaan formal yang pernah diraih Asep. Tidak terhitung aneka penghargaan nonformal, baik yang datang dari perseorangan maupun kelembagaan.
Dari semua itu, pada kesehariaanya, Asep tetaplah Asep yang hidup bersahaja, mengenakan sarung, dan bersila, serta "bercengkrama" dengan domba-domba peliharaanya.
Benar tidaknya Asep Sunandar Sunarya bisa disebut sang Maestro(?), tentu bukan yang bersangkutan yang menjawabnya. Hanya masyarakat, baik itu penggemar wayang golek dan pemerhati wayang setidaknya yang dapat menilainya. Tentu saja penilaian ini merujuk kepada sejumlah karya yang sudah dihasilkannya. Yang jelas salah satu stasiun televisi sempat merekam jejak perjalanan seorang Asep dalam format acara "Maestro" beberapa tahun yang lalu.
Fakta menunjukan bahwa jam terbang manggungnya cukup mencengangkan bahkan sekitar 1985-1990-an, ia seringkali harus manggung 40 kali perbulannya.

Kehidupan Pribadi[sunting | sunting sumber]

Pada umur 17 tahun Asep Sunandar Sunarya menikahi Euis Garnewi (16 tahun) seorang Pesinden juaga anak seorang Camat. Dari pernikahannya itu Asep dikaruniai 1 orang anak perempuan dan 2 orang anak laki-laki  yaitu: Mae Saroh, Dadan Sunandar, dan Dani. Namun nasib tak bisa ditolak, perkawinan mereka hanya bertahan hingga 7 tahun, meraka pun sepakat untuk bercerai secara baik-baik. Tuhanpun mempertemukan Asep dengan Elas Sulastri(18tahun) seorang Gadis asal Lembang Jawa Barat, tahun 1978, saat itu usia Asep 23 tahun. Dari pernikahannya Asep dikarunia 1 orang anak lakii-laki dan 2 orang anak perempuan yaitu: Dinar Mustika, Elin, dan Gina Tridasanti. Namun, lagi-lagi jalan hidup tidak ada yang menduga. Pernikahannya dengan Elas kandas ditengah jalan. Usia pernikahannya dengan Elas Sulastri hanya berlangsung 6 tahun. Pada usia 29 tahun Asep menikah lagi dengan Ati (20tahun) seorang Gadis asal Rancaekek, Bandung Jawa Barat. Dari pernikahannya dengan Ati lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Cipta Dewa atau sering dipanggil Ito. Pada tahun yang sama, Asep menikah lagi dengan gadis asal Cangkuang bernama Sumirat (sebagai istri kedua), dari pernikahannya dengan Sumirat lahirlah seorang anak laki-laki yang diberinama Gunawan Wibiksana. Inilah jalan kehidupan Asep. Sama sekali yang bersangkutan tidak pernah tahu bahwa dirinya harus berpoligami. Tahun 1985 saat Asep berusia 31, Ia terpikat gadis cantik dari Cianjur Kadupandak yang bernama Nenah Hayati (15 tahun). Pertemuannya bermula saat Asep sedang pentas di daerah tersebut. Pendek cerita akhirnya mereka sepakat untuk menjalin tali kasih, yang seterusnya menikah pada tanggal 4 Maret 1985. Kedua istrinya yang dimadu tersebut dangan rela harus melangsungkan perceraian sebagai jalan terbaiknya setelah mengetahui suaminya sudah menikah lagi dengan gadis cantik yang baru lulus dari SMP. Dari pernikahan tersebut lahirlah 6 orang anak laki-laki: Batara Sena, Gysta Gumilar Agustina, Yogaswara Sunandar, Sunan Purwa Aji, Aria Sadewa, dan Maulana Yusuf. Hingga saat ini hanya satu istri yang hidup serumah dengan Asep. Hidup dan jalan kehidupan seseorang memang menjadi rahasia Tuhan. "Euweuh.. Euweuh nu nyaho manusa mah soal jodo, pati, bagja katut cilaka. kitu deui jeung Uing, ah teu nyangka wé sagala rupana ogé, geus kieu wé kuduna, da mémang kieu gening kanyataanana. teu Dalang, teu Présidén, teu Hancip, teu Ulama teu saha, ari ceuk nu Maha Sutradara kudu A nya pasti kajadian A. Aaaaah tarima wé ku kasadaran da sagala gé teu hayang komo embung". Ujar Asep.
Dalang kondang ini memiliki riwayat penyakit jantung dan rencananya akan dibawa ke sebuah rumah sakit di Singapura untuk berobat. Namun takdir berkata lain, pada tanggal 31 Maret 2014, Asep Sunarya meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit Al-Ihsan Bandung

ASAL USUL WAYANG GOLEK

Wayang Golek (Jawa Barat)

1. Asal-usul
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.

Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).

Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.

2. Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.

3. Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.

4. Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa

SEJARAH WAYANG GOLEK

Wayang golek

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Wayang Golek Sunda
Wayang Golek adalah suatu seni tradisional sunda pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka kayu, yang terutama sangat populer di wilayah Tanah Pasundan, Daerah penyebarannya terbentang luas dari Cirebon di sebelah timur sampai wilayah Banten di sebelah barat, bahkan di daerah Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat sering pula dipertunjukkan pergelaran Wayang Golek.
Cepot atau Astrajingga dalam Wayang sunda

Wayang[sunting | sunting sumber]

Pengrajin wayang golek
Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat populer, terutama di pulau Jawa dan Bali. Orang sering menghubungkan kata “wayang” dengan “bayang”, karena dilihat dari pertunjukan wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan. Di Jawa Barat, selain dikenal wayang kulit, yang paling populer adalah Wayang golek . Istilah golek dapat merujuk kepada dua makna, sebagai kata kerja kata golek bermakna 'mencari', sebagai kata benda golek bermakna boneka kayu.[1] Berkenaan dengan wayang golek, ada dua macam diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang orang yang merupakan bentuk seni tari-drama yang ditarikan manusia, kebanyakan bentuk kesenian wayang dimainkan oleh seorang dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan lain-lain.

Pola pagelaran[sunting | sunting sumber]

Tokoh wayang Walangsungsang dan Rara Santang yang menyebarkan agamaIslam di Tanah Sunda
Sebagaimana alur cerita pewayangan umumnya, dalam pertunjukan wayang golek juga biasanya memiliki lakon-lakon baik galur maupun carangan. Alur cerita dapat diambil dari cerita rakyat seperti penyebaran agama Islam oleh Walangsungsang dan Rara Santang maupun dari epik yang bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabarata dengan menggunakan bahasa Sunda dengan iringan gamelan Sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selentem, satu perangkat boning, satu perangkat boning rincik, satu perangkat kenong, sepasang gong (kempul dan goong), ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang Indung dan tiga buah kulanter), gambang dan rebab.
Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja dipertunjukan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik. Beberapa dalang wayang golek yang terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi, ki dalang IIN wahyu iskandar dll. Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut;
  1. Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara;
  2. Babak unjal, paseban, dan bebegalan
  3. Nagara sejen
  4. Patepah
  5. Perang gagal
  6. Panakawan/goro-goro
  7. Perang kembang
  8. Perang raket
  9. Tutug
Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat adalah ngaruat (ruwat), yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang yang diruwat (sukerta), antara lain:
  1. Wunggal (anak tunggal)
  2. Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia)
  3. Suramba (empat orang putra)
  4. Surambi (empat orang putri)
  5. Pandawa (lima putra)
  6. Pandawi (lima putri)
  7. Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit putri)
  8. Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang putra), dan sebagainya.

Sejarah perkembangan[sunting | sunting sumber]

Wayang Golek si Cepot
Pada awal kemunculannya, kesenian wayang kayu lahir dan berkembang di wilayah pesisir utara pulau Jawa pada awal abad ke-17 dimana kerajaan Islam tertua di Pulau Jawa tumbuh disana, dengan menggunakan Bahasa Sunda dalam dialognya. Menurut legenda yang berkembang, Sunan Kudus menggunakan bentuk wayang golek awal ini untuk menyebarkan Islam di masyarakat.
Kesenian wayang golek berbahasa Sunda diperkirakan mulai berkembang di Jawa Barat pada masa ekspansi Kesultanan Mataram pada abad ke-17, meskipun sebenarnya beberapa pengaruh warisan budaya Hindu masih bertahan di beberapa tempat di Jawa Barat sebagai bekas wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran. Pakem dan jalan cerita wayang golek sesuai dengan versi wayang kulit Jawa, terutama kisah wayang purwa (Ramayana dan Mahabharata), meskipun terdapat beberapa perbedaan, misalmya dalam penamaan tokoh-tokoh punakawan yang dikenal dalam versi Sundanya. Adapun kesenian wayang kayu berbahasa Jawa saat ini dapat dijumpai bentuk kontemporernya sebagai Wayang Menak di wilayah Kudus dan Wayang Cepak di wilayah Cirebon, meski popularitasnya tidak sebesar wayang golek di wilayah Priangan.
Pertunjukan seni wayang golek mulai mendapatkan bentuknya yang seperti sekarang sekitar abad ke-19. Saat itu kesenian wayang golek merupakan seni pertunjukan teater rakyat yang dipagelarkan di desa atau kota karesidenan. Selain berfungsi sebagai pelengkap upacara selamatan atau ruwatan, pertunjukan seni wayang golek juga menjadi tontonan dan hiburan dalam perhelatan tertentu.
Sejak 1920-an, selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas sinden pada masa-masa itu sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas dalang wayang golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah sekitar tahun 1960-an.
Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang golek.

  1. Kini selain sebagai bentuk teater seni pertunjukan wayang, kerajinan wayang golek juga kerap dijadikan sebagai cindera mata oleh para wisatawan. Tokoh wayang golek yang lazim dijadikan cindera mata benda kerajinan adalah tokoh pasangan Rama dan Shinta, tokoh wayang terkenal seperti Arjuna, Srikandi, dan Krishna, serta tokoh Punakawan seperti Semar danCepot. Kerajinan wayang golek ini dijadikan sebagai dekorasi, hiasan atau benda pajangan interior ruangan. Adapun di jaman modern ini Wayang golek purna kreasi sudah mulai di kembangkan oleh para pengrajin wayang muda,yang tetap tidak menghilangkan pakem dari Wayang golek purwa, di ataranya ada pengarajin Cahya Medal ,Wayang Golek Evolution dan lain-lain

SLANKRS NKRI


Widget Slideshow